
Untuk Info silahkan kunjungi http://pulopiun.blogspot.com/
Di banyak milis sedang ramai diskusi soal kelakuan pengendara motor gede (moge), yang dinilai kerap arogan di jalan raya. Seolah jalan publik menjadi milik mereka dan karena itu bisa ngebut suka-suka sambil menyuruh (sering juga memaksa) pengguna jalan lain minggir sepinggir-pinggirnya. Soal ini malah jadi berita serius yang cukup di-blow up di detik.com beberapa hari terakhir.
Saya termasuk yang sering gerah dengan komplotan moge ini. Kalau konvoinya sudah lewat, kendaraan lain pasti harus minggir. Bukan saja dengan sirine, tetapi juga memainkan gas motor mereka yang super bising itu. Dalam beberapa hal saya lantas mikir, ini orang-orang kok asosial sekali. Padahal, mereka adalah orang-orang berduit dan sebagian lagi berpendidikan. (Soalnya ’kan ada juga yang berduit tapi bodoh, lantas jadi kampungan hehehe…)
Tapi kalau kita tuduh asosial, maka para pemilik kendaraan mahal ini pasti membantah. Sebab dalam aksinya mereka memang bukan sekadar mengacaukan lalulintas, tetapi juga (kadang-kadang) bikin aksi sosial seperti bagi sembako kepada rakyat miskin. Artinya, kalau di jalan raya tampak arogan, di tempat gelaran aksi sosial itu mereka adalah orang-orang yang berhati lembut.
Saya lebih memandang masalah ini dalam konteks rasa keadilan bagi masyarakat. Orang-orang berduit pengguna motor gede itu, betapa pun, bukanlah kelas istimewa di republik ini. Okelah sebagian dari mereka adalah pejabat dan pengusaha, tapi tetap tak ada hubungannya antara status sosial itu dengan kegiatan hobi mereka. Silakan lakukan hobi, apapun itu. Tapi jangan sampai mengganggu orang lain.
Saya beberapa kali harus berurusan dengan konvoi moge. Di jalan raya, meskipun kadang suka ngebut juga, saya tetap mengukur kenyamanan orang lain dalam berkendara. Nah, suatu hari, di belakang saya sirine meraung tanda ada sesuatu. Tadinya saya mau minggir karena berpikir itu sirine ambulans atau pemadam. Ah, ternyata komplotan moge. Maka, saya tetap melaju di lajur yang adalah hak saya.
Komplotan moge itu marah karena mereka tak bisa menyalip. Lampu dikedip-kedipkan, gas dimainkan dengan kasar dan klakson berbunyi berkali-kali. Saya tetap di lajur saya, tak mau minggir karena jalan lumayan padat. Mereka merapat ke mobil saya, menunjuk-nunjuk, menuding dan ngoceh entah dengan omelan jenis apa. Ketika ada sedikit celah untuk menyalip, mereka bergiliran mencuri jalan. Salah seorang di antaranya memberi hadiah acungan jari tengah. Saya tak melakukan apa-apa. Hanya mengeluarkan kamera dan, sambil tetap mengemudi, memotret kelakuan mereka. Mereka tentu tak melihat saya karena kaca mobil saya lumayan gelap.
Di banyak kesempatan yang lain, saya selalu bersengaja tidak memberi jalan kepada konvoi beginian. Sekadar ingin memberi perlawanan bahwa mereka bukanlah kelompok istimewa, meskipun di dalamnya ada perwira polisi – yang karena itu membuat petugas lalulintas bukan saja tak berani ambil sikap, tapi malah ikut mengatur memberi pengawalan.
Saya juga sering menghalang-halangi jalan untuk rombongan gubernur atau walikota, atau siapapun dengan konvoi mobil pelat merah, ketika mereka hendak mendapat jalan lempang di tengah kemacetan lalulintas. Sebagai pejabat publik menurut saya tidaklah tepat mereka diistimewakan di jalan raya. Justru seharusnya mereka memikirkan bagaimana supaya jalan tidak macet dan warga bisa berkendara dengan nyaman. Bukannya malah dikawal, menyuruh minggir pengguna jalan lain, dan mereka melenggang nyaman meninggalkan sisa kemacetan yang semakin parah.
Saya hanya mau minggir kalau yang ada di belakang dan meminta jalan adalah ambulans atau pemadam, sebab mereka memang perlu ngebut untuk mengejar kedaruratan. Saya juga bersedia minggir kalau pengendara di belakang saya memang lebih laju sementara saya punya kesempatan untuk minggir; jalan tidak macet dan cukup ruang untuk menepi. Saya sedapat mungkin akan menghalang-halangi manusia-manusia arogan yang hendak berlaku semaunya di ruang publik.
Suatu hari, di belakang saya sedang ada konvoi truk tentara yang baru pulang dari apel/upacara (entah peringatan apa saya lupa). Anda tahu sendiri, tentara kita kalau sudah ngumpul begitu juga akan jadi raja yang super arogan. Ngebutnya luar biasa dan ada sepeda motor yang hampir saja terserempet. Sampai di belakang saya, dengan sengaja saya halang-halangi. Mereka mau menyalip dari kanan, saya geser mobil ke kanan. Mau ambil lajur kiri, saya geser ke kiri. Saya diklakson panjaaaang sekali. Sampai akhirnya mereka berhasil menyalip dan puluhan pasukan di bak belakang melempari mobil saya dengan botol air mineral. Hehehehe… untung nggak sampai ditembak!
Yeah, tingkah polah orang-orang di republik ini super lengkap. Pejabat yang hidup bergelimang harta dari duit rakyat itu diperlakukan istimewa, sampai-sampai dulu sempat heboh ada mobil Wapres nyelonong di jalur Bus Way. Orang-orang kaya merasa mereka penduduk kelas satu yang harus diperlakukan VIP di mana pun. Berpamer harta pakai motor gede, muter-muter kota sambil buang-buang BBM.
Hmm… republik ini memang sedang sakit.
Narga Habib, Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) meyakini kreatif periklanan Indonesia telah berada di jalurnya untuk membuktikan peningkatan kualitas kreatifitasnya dalam bersaing dengan negara-negara lain. Dalam pembukaan kegiatan sosialisasi Citra Pariwara, Narga Habib menjelaskan pentingnya keberanian mematok prestasi lebih tinggi, agar nyata dapat diraih. “Cita-cita yang semakin tinggi harus diikhtiarkan, itu sebabnya tema Citra Pariwara 2007 adalah Aim Higher”.
Bertempat di MPX Grande Theater, Pasaraya Parking Building, Jakarta, Panitia Citra Pariwara 2007 melakukan sosialisasi mengenai tata cara dan prosedur mengikuti lomba Citra Pariwara 2007 pada hari Jumat, 26 Oktober 2007. Ketua Panitia Citra Pariwara 2007, Ricky Pesik menjelaskan bahwa festival periklanan Indonesia, tahun ini memfokuskan pengembangan sumber daya manusia kreatif periklanan dengan memfasilitasi hadirnya para pakar periklanan dari berbagai jenis medium periklanan di dunia. Perkembangan berbagai medium periklanan dunia pula akan dibahas dalam kegiatan ini. Hampir seluruh pembicara yang tampil dalam seminar selama festival periklanan 2007 ini
adalah para pemenang award kreatif periklanan dunia. Kegiatan Citra Pariwara yang diawali dengan berbagai seminar ini, dimulai tanggal 28 November hingga 30 November di Upperroom Hotel Nikko Jakarta, dipuncaki Malam Anugerah Citra Pariwara 2007.
Tentang pembagian kategori anugerah penghargaan Citra Pariwara 2007, Ricky Pesik menjelaskan bahwa tidak banyak perubahan yang ditetapkan dari tahun lalu. Beberapa penyempurnaan, hasil pembelajaran festival tahun-tahun yang lewat disampaikan di sini seperti: selain Agency of The Year dan Advertiser of The Year, ada juga penghargaan bagi Production Houseof the Year, sebagai apresiasi kepada mitra bisnis industri periklanan. Kategori Craftmanship juga lebih dipertajam dengan memperbolehkan peserta perorangan seperti Photographer, di luar Production House.
Selain itu dijelaskan juga bahwa seperti tahun-tahun lalu Daun Muda Award (pasangan insan muda periklanan). Pasangan Daun Muda Award ditetapkan usianya lebih lebar hingga 30 tahun di tahun depan saat AP Adfest berlangsung, mengikuti perubahan syarat usia kepesertaan di Young Lotus Award Pattaya. BG (baca: Biji) Award masih berlangsung untuk mahasiswa, dengan mensyaratkan pasangan kreatif periklanan dari satu institusi pendidikan, serta kali ini level pendidikan diluaskan dari Diploma 1 hingga S2. Young Film Director masih diselenggarakan. Hanya saja di tahun ini, bagi seleksi penjurian kategori Young Film Director ditetapkan melalui sebuah tugas (assignment) berupa film iklan pendek sepanjang 60 detik dengan tema “Aim Higher.”
Juri-juri Citra Pariwara 2007 dijelaskan merupakan komposisi juri lokal dan asing, yang merupakan kombinasi antara peraih award kreatif periklanan dan para juri festival periklanan regional (Asia Pacific Ad Fest). Ridwan Handoyo, Koordinator Penjurian Citra Pariwara menjelaskan lebih jauh bahwa Asia Pacific Advertising Festival Pattaya, masih dipakai sebagai referensi bagi para juri untuk mencapai kesepakatan penilaian. Semakin ketatnya penjurian ini, dilakukan sebagai pemacu agar peningkatan kreatifitas periklanan dapat segera mencapai cita-citanya berkiprah di kreatif periklanan dunia dengan lebih baik. Tentunya, tanpa mengabaikan kesesuaian dengan Etika Pariwara Indonesia yang merupakan rambu-rambu penyelenggaraan kegiatan komunikasi dan periklanan di Indonesia, yang diakui. Seperti Citra Pariwara tahun-tahun sebelumnya, sebelum memasuki meja juri, entry-entry Citra Pariwara akan melalui seleksi kepatuhan etika pariwara terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar kepentingan kreatifitas dan kepentingan konsumen periklanan di Indonesia, tetap dapat berjalan seiring.
Narga Habib, pula menambahkan kegiatan Citra Pariwara masih terus mempertahankan diri sebagai anugerah penghargaan kreatif periklanan tertinggi di Indonesia. Harapan PPPI terhadap penyelenggaraan Citra Pariwara 2007, adalah menghasilkan lebih banyak lagi iklan-iklan kreatif yang berjaya di festival regional dan internasional.
Untuk keterangan lebih lanjut hubungi:
Ricky Pesik – Ketua Citra Pariwara 2007 (08153802980)
Anita Kastubi – Komunikasi dan Humas CP 2007(08159640110)