





Bismillahirrahmanirrahim,
Tatkala Temperatur Terik Terbakar Terus,
Tukang Tempe Tetap Tabah, "Tempe-tempe" , Teriaknya.
Ternyata Teriakan Tukang Tempe Tadi Terdengar Tukang Tahu, Terpaksa
Teriakannya Tambah Tinggi, "Tahu...Tahu. ..Tahu... !" "Tempenya Terbaik,
Tempenya Terenak, Tempenya Terkenal!!", Timpal Tukang Tempe .
Tukang Tahu Tidak Terima,"Tempenya Tengik, Tempenya Tawar, Tempenya
Terjelek.... !" Tukang Tempe Tertegun, Terhenyak, "Teplakkk... !"
Tamparannya Tepat Terkena Tukang Tahu.
Tapi Tukang Tahu Tidak Terkalahkan, Tendangannya Tepat Terkena Tulang
Tungkai Tukang Tempe . Tukang Tempe Terjengkang Tumbang! Tapi Terus
Tegak, Tatapannya Terhunus Tajam Terhadap Tukang Tahu.
Tetapi, Tukang Tahu Tidak Terpengaruh Tatapan Tajam Tukang Tempe Tersebut, "Tidak Takut!!" Tantang Tukang Tahu.
Tidak Ternyana Tangan Tukang Tempe Terkepal, Tinjunya Terarah, Terus
Tonjokkannya Tepat Terkena Tukang Tahu, Tak Terelakkan! Tujuh Tempat
Terkena Tinjunya, Tonjokan Terakhir Tepat Terkena Telak. Tukang Tahu
Terjerembab.
"Tolong.. Tolong.. Tolong..!", Teriaknya Terdengar Tinggi. Tetapi Tanpa
Tunda Tempo, Tukang Tempe Teruskan Teriakannya, " Tempe .. Tempe ..
Tempe ..!!" Tukang Tahu Tambah Teriak Tararahu.. Tararahu, Tandingin
Tararempe.. Tararempe..
Tape Teh...
Tengkiyu Tjuragan-Tjuragan ..
Aku hanyalah aku yang berdiri tegak ditanah pengasingan tempatku lahir, dunia yang penuh dengan tanda tanya ini, dunia yang penuh dengan orang angkuh dan gila akan kekuasaan.
Jawaban klasik pun muncul dari benakku, haruskah aku menjadi seperti mereka? mengikuti tingkah lakunya, dan teramat sangat bangga Dengan perut buncit beserta pangkat “mainan” yang telah menjadi pengganti dari muka polosnya itu, atau aku harus menjadi seperti mereka yang terbuang ditanah tempat mereka tumbuh..? semua hal itu yang membuat aku terus mencoba mencari jalan menuju keabadian atas kepunahan yang sebentar lagi akan terjadi ditempat aku berpijak ini.
Penindasan kini telah menjadi sebuah “trend” ditanah tempat aku berpijak ini, suara memilukan nan menyayat hati terus terdengar dari seluruh pelosok duniaku, tapi sang penguasa angkuh hanya tertawa sambil menenggakkan segelas anggur melalui mulutnya, melawati kerongkongannya, lalu singgah dan mengendap diperutnya.
Tak lagi tersenyum mereka yang terbuang kini, raut wajah mereka begitu lusuh, kering dan keriput karena beban yang terlalu berat yang harus mereka alami, rasakan, dan mereka tanggung, badan mereka pun tak lagi tegap, gagah dan berwibawa,
suara mereka begitu kecil, seperti berbisik tak lagi lantang, angin yang berhembus dari timur, barat, selatan maupun utara tak lagi sejuk melainkan panas..panas yang bercampur dengan kesedihan diiringi keputus’asaan dan kesengsaraan.
Duniaku yang dulu indah kini telah berubah menjadi sebentuk tanah pecah-pecah nan gersang layaknya kuburan, ya..lebih tepatnya lagi kuburan massal para Penghuni Asli Negeri yang Terbuang, tak kulihat lagi Rumput Hijau nan Damai Menghiasi Kulit Bumi Pertiwiku .
Para pejuang, pendiri dan pemimpin asli duniaku hanya dapat melihat, tak bisa menolong, tak dapat mencegah, tak mungkin ia kembali, mereka hanya bisa menangis, mereka menangis terharu ditiap sudut tempat mereka kini tinggal “negeri diatas awan”.
Sampai kapan semua ini berakhir?
harus berapa nyawa tak berdosa lagi hilang?.
pertanyaan yang tentunya bukan hanya aku saja yang punya, melainkan mereka semua, mereka yang tertindas, mereka yang teraniaya, mereka yang terbuang.
Wahai pencipta alam semesta,,
pencipta zat murni nan suci..
berikan kami keajaiban dari kerajaan langitmu,
keajaiban yang penuh dengan cinta dari taman surgamu,
cinta yang bisa membuat kami mencium wangi tanah kebebasan kami,
tanah tempat kami lahir dan tumbuh,
dan meraih kembali cita-cita murni dan tulus kami,
cita-cita kaum yang terbuang dari singgasana mewah karya agungmu wahai penguasa langit ke tujuh.
cita-cita kami adalah “ KEDAMAIAN ”.