Jumat, 26 Juni 2009

sekedar berbagi ...

Semula ketika kita menjadi dewasa, secara umum kita menjadi mengerti mana jalan yang baik dan mana yang buruk. Diawal kita beranjak dewasa kita menyadari bahwa kita harus menjadi berarti, di mula-mula kita meninggalkan masa kanak-kanak yang manja, tanpa beban, dengan banyak tingkah yang menyebalkan, pada saat itulah biasanya kita telah menetapkan tujuan akhir kehidupan kita. Umumnya, secara substansi sederhana: KITA INGIN HIDUP BAHAGIA. Meski jalan kearah sana berbeda-beda. Setidaknya kita mulai mengerti bahwa hidup sengsara itu tidak mengenakan. Seperti do’a harian yang sudah kita hafal sejak kanak-kanak, “robbana aatina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah waqinaa adzabannar”
Tak ada orang sehat yang berpikir ingin sengsara dunia dan akhirat. Nah, akherat adalah tujuan akhir cita-cita dan itulah rumah kita. Kesana kita pergi menuju, meski pada hakekatnya kesana pula kita kembali.

Setelah kita mulai mengayun langkah menuju cita-cita itu, harapan itu, sejak saat itulah prinsip adanya godaan ditengah jalan mulai berlaku. Sepanjang perjalanan itu, ada diantara kita yang terlalu banyak singgah. Jiwa kita tiba-tiba mampir di lorong kemaksiatan. Singgah di kamar-kamar dosa. Sejenak dua jenak. Tak juga beranjak. Lalu tiba-tiba kita sudah pergi jauh dari jalan ke rumah akhir kita.

Setelah kita mulai berjalan mengejar cita-cita itu, harapan itu, hati kita mungkin tiba-tiba tergoda, berbelok arah. Seperti pengendara mobil yang keluar jalur, atau keliru arah. Lalu tiba-tiba kita – entah tahu atau tidak – ternyata sedang menaiki kendaraan hidup ke ujung neraka.

Masalahnya lebih banyak dimulai dari persepsi, keyakinan, dan sudut pandang yang keliru. Pandangan keliru itu bisa sepotong baju kita yang kita takutkan terkotori oleh orang-orang miskin. Atau bangga diri atas hal-hal lahiriah yang kita punya padahal tidak benar-benar kita punya: tampang, status sosial, harta, pundi-pundi usaha, kiprah politik, bahkan juga intelektualitas. Pandangan itu bisa juga pilihan kita untuk menipu lalu pura-pura tidak tahu.

Ditambah kontribusi godaan syetan, persepsi keliru itu lengkap sebagai penyesat arah yang sempurna. Salah satu bentuknya, sebagaimana dijelaskan Al Qur’an, bahwa syetan membuat orang-orang itu menganggap baik perbuatan buruknya.

Persepsi dan pemahaman kita tentang banyak hal yang keliriu itulah yang membuat kita sering berputar-putar tidak jelas, kesana kemari tak tentu arah. Semua itu adalah jalan lain yang tidak menghantarkan. Semua itu adalah jalan lain yang tidak menyampaikan

Seperti mereka yang menjalani hidup dengan jarum jam untuk menghitung waktu, mengatur jadwal diri, tapi tidak memiliki kompas sebagai penunjuk arah. Orang-orang seperti ini banyak yang terlihat sangat sibuk, super letih dan lelah, jadwalnya padat. Satuan transaksi kehidupannya adalah menit. Tapi mereka tidak sadar tengah berjalan dimana. Mungkin ke neraka. Mungkin juga ke syurga tapi lewat `neraka dalam waktu yang sangat lama.

Sepotong baju adalah perlambang. Sebuah mobil adalah simbol. Dibaliknya ada kisah kekayaan dan kemiskinan yang melahirkan sikap demi sikap. Dijalan kehidupan kita sehari-hari banyak simbol dan perlambang semu yang menggoda. Telah banyak orang yang keluar dari jalan cita-citanya, lantaran godaan simbol-simbol yang sederhana, remeh dan bahkan tak penting.

Dihamparan kehidupan ini, terlalu banyak orang yang harus dikasihani karena mereka berjalan diluar jalur laju diri dan cita-citanya sendiri. Tak ada kata yang tepat bagi mereka kecuali: kembalilah...dan jangan sampai terlambat

Jangan terlambat pulang, ke jalan jati diri dan ujung harapan kita. Agar tak ada sesal dikemudian hari